Lika-Liku Proyek Wastafel di Aceh

Penulis : Irma Sari

www.awpf.or.id | Banda Aceh, Kemitraan – Hujan pagi itu, Kamis (9/12/2021), nyaris membuat rencana peringatan Hari Anti Korupsi Internasional di Kota Banda Aceh batal. Hujan membuat jalan basah dan licin. Bahkan, bisa memicu banjir dan menghambat aktivitas warga. Bisa-bisa, tidak ada yang datang ke acara kami. Sebagai panitia, bukan ini yang kami harapkan.

Beruntung, pukul 10.00 hujan mereda. Kami bernapas lega. Peserta mulai berdatangan ke kegiatan kami yang digelar di sebuah kafe. Acara itu diinisiasi oleh Gerak Aceh, sebuah organisasi anti korupsi. Diskusi berjudul “Demokrasi Tanpa Korupsi” itu menghadirkan perwakilan dari berbagai elemen masyarakat sipil di Kota Banda Aceh.

Saya dinobatkan menjadi fasilitator karena dianggap menguasai isu anti korupsi, khususnya korupsi Pengadaan Barang Dan Jasa (PBJ). PBJ merupakan sektor korupsi terbesar di Aceh. Pengetahuan tentang isu ini saya dapatan ketika menjadi anggota Komite Pemantauan PBJ Aceh sejak Mei 2021.

Dalam forum itu, saya memaparkan pengadaan barang dan jasa, khususnya proyek wastafel yang telah merugikan negara pada masa sulit pandemi covid -19. Berita tentang temuan kami bisa dibaca di sejumlah media, seperti di https://www.kompas.id/baca/desk/2021/12/09/keterlibatan-milenial-aceh- dalam-isu-antikorupsi-butuh-dukungan/.

Namun, melalui tulisan ini, saya ingin menjabarkan lika-liku pemantauan yang kami lakukan sejak Agustus 2021. Awalnya, kami menelusuri beberapa kanal-kanal pemerintah untuk mendapatkan informasi awal pengadaan barang dan jasa. Kami juga mengunjungi kanal Layanan Pengadaan Secara Electronik (LPSE), Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa (SiRUP LKPP), Sistem Informasi Penyedia Kinerja Penyedia (SIKaP-LKPP), Kanal Organisasi Masyarakat Sipil, seperti Internasional Corruption Watch (ICW) juga tidak luput dari pencarian kami.

Kami mengecek nama pembeli (SKPD), judul Proyek, nilai kontrak, pagu anggaran, kategori pekerjaaan, lokasi pelaksanaan, jenis prosedur pemilihan, jumlah penawaran, tanggal pemberian kontrak, kode tender, kode Rencana Umum Pengadaaan (RUP), juga waktu pemilihan dan sumber dana. Setelah itu, kami mendalami perusahaan pemenang proyek.

Kami mencoba mengorek rekam jejak perusahaan dalam mengerjakan proyek sebelumnya, alamat perusahaan, pemilik perusahaan, dan jabatannya. Pencarian ini penting untuk mengetahui ada tidaknya dugaan pelanggaran atau persekongkolan vertikal dan horizontal, monopoli, konflik kepentingan, serta koneksi politik perusahaan dengan pemangku kebijakan.

Akhirnya, kami mendapatkan informasi proyek wastafel ini menelan anggaran Rp.44.000.958.000. Proyek ini dibangun di 390 titik sekolah dengan metode pengadaan langsung di Provinsi Aceh. Setiap sekolah mendapatkan 11 unit wastafel dan satu unit tempat penampungan air. Proyek ini merupakan salah satu perwujudan disiplin protokol kesehatan seiring kembalinya siswa ke sekolah.

Pembangunan wastafel dengan anggaran fantastis ini mendorong saya untuk mendalami, apakah kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Aceh melalui satuan kerja perangkat daerah Aceh (SKPA) Dinas pendidikan Aceh ini sudah tepat sasaran? Lalu, bisakah proyek ini memutus mata rantai penularan Covid-19?

Setelah kami turun ke lapangan, hasilnya sangat mengejutkan. Terdapat sejumlah ketidaksesuaian dalam pelaksanaan proyek. Pembangunan wastafel dikerjakan asal-asalan, keran-keran air rusak, air tidak mengalir, dan pipa sambungan tidak sepenuhnya terpasang dengan wastafel. Bahkan, ada wastafel yang rusak total, tidak bisa digunakan. Observasi langsung saya lakukan di Sekolah menengah atas (SMA) 1 dan SMA 3 di Banda Aceh, serta SMA 1 dan SMA Peusangan Selatan di Kabupaten Bireun.

Temuan lainnya, tidak sedikit siswa sekolah yang tidak menerapkan protokol kesehatan dalam masa Pandemi Covid-19. Mereka tidak memakai masker, tak menjaga jarak, dan tidak mencuci tangan ketika masuk ke ruangan kelas.

“Siswa-siswi di sekolah kami agak acuh (tak acuh) mencuci tangan. Di sini sekolah pun seperti biasa, tidak ada belajar dari rumah. Kami sekolah tiap hari, seperti tidak ada Covid-19” ujar seorang guru SMA 1 Peusangan Selatan Kabupaten Bireun yang enggan disebutkan namanya. Bireun merupakan salah satu kabupaten di Aceh yang tidak menerapkan pembelajaran jarak jauh meski pandemi.

Artinya, proyek wastafel belum menjamin penegakan protokol kesehatan di sekolah. Di sisi lain, proyek Dinas Pendidikan Aceh dengan anggaran Rp.122.674.000 per paket dengan total 390 paket dinilai tidak wajar. Apalagi, jika berbicara kualitas proyek pembangunan yang tidak sempurna, dan tidak dapat dimanfaatkan. Bahkan, sekolah harus membangun wastafel portabel yang lebih bagus dan efesien.

Proyek ini juga kurang transparan karena terindikasi tidak ada partisipasi publik. Papan pengumuman proyek di sekolah-sekolah yang saya kunjungi, misalnya, tidak tampak. Padahal, prinsip pengadaan yang dipraktikkan secara internasional harus mengutamakan efisiensi, efektifitas, persaingan sehat, keterbukaan, transpraransi, tidak diskriminastif, dan akuntabel.

Berbagai temuan ini mengantarkan saya melakukan konfirmasi ke dinas pendidikan setempat terkait pembangunan proyek westafel yang dianggarkan oleh Dinas pendidikan, apakah proyek tersebut dilakukan pengawasan setelah proyek dinyatakan selesai. Saya dipertemukan dengan T. Fariyal, S.Sos, Kepala Unit Pelaksana Teknis Balai Teknologi Komunikasi dan Informasi (UPTD Tekkomdik) Dinas Pendidikan Aceh.

“Proyek pembangunan tempat cuci tangan wastafel untuk SMA di kabupaten/kota sudah melalui perencanaan yang baik. Tetapi, soal proyek yang dibuat asal-asalan dan wastafel tidak bisa digunakan dan dimanfaatkan dengan baik itu bukan wewenang saya untuk menjawab. Saya bukan kuasa pemegang anggaran (KPA) di dinas pendidikan,” ujarnya.

Inilah tantangan terbesar saya dalam mencari informasi proyek wastafel. Tidak semua orang yang saya wawancarai berani bicara dan terbuka tentang proyek ini. Saya menduga, ketakutan mereka karena proyek ini telah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas LHP No: 23.A/LHP/XVIII. BAC/05/2021 tertanggal 3 Mei 2021 tentang laporan hasil pemeriksaan laporan keuangan pemerintah Aceh tahun anggaran 2020. Kasus wastafel ini bahkan sudah ditangani Kepolisian Daerah Aceh.

Pandemi covid-19 telah menghacurkan tatanan kehidupan manusia, dari segi kesehatan, sosial, ekonomi dan pendidikan. Pandemi covid-19 masa-masa sulit bagi semua penduduk dunia, tak terkecuali anak- anak yang harus terus menuntut ilmu di berbagai sekolah di kota banda Aceh dan kabupaten Bireuen

Provinsi Aceh. Harapannya semua proyek yang dianggarkan dengan uang rakyat harus sesuai kebutuhan masyarakat di lapangan, ada perencanaan dan pengawasan yang baik dari pemerintah dan masyarakat. Proyek wastafel harusnya tidak hanya membersihkan tangan siswa, tetapi juga membersihkan Aceh dari korupsi. (*)

 


Perempuan Kepala Keluarga di Banda Aceh Sulit Mengakses Bansos Covid-19

Penulis : Irma Sari

www.awpf.or.id | BANDA ACEH, KEMITRAAN – Sebagai pencari nafkah dan pengelola rumah tangga, perempuan kepala keluarga di Kota Banda Aceh sangat terdampak pandemi Covid-19. Namun, mereka kesulitan mengakses bantuan sosial Covid-19 yang merupakan program pemerintah untuk mempercepat pemulihan ekonomi di tengah pandemi.

“Saya perempuan kepala keluarga yang tidak mendapatkan akses bantuan sosial dari pemerintah. Bahkan, anak-anak kami yang yatim tidak mendapatkan bantuan juga,” sebut Rosdiana, warga Desa Batoh, Kota Banda Aceh, awal januari 2022. Rosdiana adalah seorang perempuan kepala keluarga yang bekerja sebagai pedagang online. Pendapatannya tidak bisa diprediksi tiap bulannya sehingga Rosdiana

harus meminta bantuan keluarganya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Apalagi, tiga anaknya masih duduk di bangku sekolah menengah atas dan sekolah dasar.

Nova, perempuan kepala keluarga di Desa Punge, Kota Banda Aceh, mengatakan, di daerahnya hanya orang-orang dekat kepala desa yang mendapatkan bansos. “Saya mempertanyakan tentang bantuan sosial kepada keuchik (kepala desa), kenapa saya yang seorang janda tidak mendapatkan bansos apa pun dari pemerintah. Padahal, saya tidak memiliki pekerjaan tetap dan mempunyai 2 orang anak,” sebutnya.

Nova yang juga pemimpin Aliansi Inong Aceh, organisasi yang fokus pada perempuan, juga melakukan advokasi langsung terkait hal itu. Akhirnya, Nova bisa mendapatkan Bantuan langsung tunai (BLT) dari pemerintah desa yang langsung di transfer ke rekeningnya sejumlah Rp.300.000 mulai Januari sampai desember 2021.

Perempuan kepala keluarga lainnya di Desa Ateuk Pahlawan kota Banda Aceh, Maya Sari, juga merasa berat menghadapi pandemi Covid-19. Maya tiap bulan mendapatkan uang pensiun dari almarhum suaminya yang seorang pegawai negeri sipil (PNS) sejumlah Rp.1.000.000. Namun, dana itu belum cukup memenuhi kebutuhan satu orang anak perempuannya yang sekolah di sekolah Tahfiz di kota banda Aceh.

“Saya sangat terdampak langsung dengan pendemi Covid-19 ini, akan tetapi saya tidak mendapatkan bantuan sosial (bansos) Covid dan bantuan-bantuan sosial lainnya dari pemerintah. Padahal, saat Pandemi Covid-19 saya harus ekstra menjaga kesehatan sehingga kebutuhan saya meningkat. Saya harus membeli hand sanitizer, masker dan vitamin,” ujar Maya yang sudah 13 tahun menjadi kepala keluarga.

Di Desa Ateuk Pahlawan, Banda Aceh, data penerima bansos Covid-19 berasal dari pemerintah pusat. Bansos dibagi menjadi dua, yakni dari Kementerian Sosial dan bansos yang dialokasikan dari dana gampong (dana Desa).

“Bansos dari Kementerian (Sosial) sudah ada datanya, kita tidak bisa otak-atik lagi. Sedangkan bansos dari dana desa diperuntukkan kepada masyarakat yang terdampak Covid-19. Kita tidak melihat apakah kepala keluarga itu laki-laki atau perempuan” ujar Kepala Urusan Pelayanan di Kantor Keuchik Ateuk pahlawan Banda Aceh, Fitri.

Dalam wawancara singkat dengan Bapak Devi Riansyah, A.KS.M.Si, Sekretaris Dinas Sosial Provinsi Aceh, pada tanggal 10 Januari 2022 di Banda Aceh, Ia menjelaskan bahwa bantuan sosial disalurkan merata kepada seluruh masyarakat yang terdampak Covid-19. Masyarakat yang sudah mendapatkan bantuan sosial seperti Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) dan Program keluarga Harapan (PKH), tidak akan mendapatkan bantuan sosial Covid-19 lagi. Ini dilakukan agar bantuan merata kepada seluruh masyarakat yang terdampak Covid-19. Namun, perempuan kepala keluarga belum ada kekhususan sebagai penerima bansos.

Terkait dengan tidak meratanya bantuan sosial Covid-19 ini, Pemerintah seharusnya turun langsung ke lapangan untuk mengecek penyaluran bansos, terutama untuk warga terdampak, seperti perempuan kepala keluarga. “Bansos Covid-19 seharusnya bukan diberikan kepada orang yang dekat dengan aparatur desa. Pemerintah juga harus memprioritaskan perempuan kepala keluarga. Mereka rentan terdampak kemiskinan, apalagi saat pandemi,” tutur Nova.(*)


Proyek Wastafel di Aceh Belum Optimal

Penulis : Irma Sari

www.awpf.or.id | BANDA ACEH, KEMITRAAN – Proyek pembangunan wastafel yang dicanangkan Dinas Pendidikan Provinsi Aceh belum berfungsi optimal. Wastafel tersebut tidak mengeluarkan air dan kerannya rusak. Padahal, publik membutuhkan sarana cuci tangan untuk mencegah penularan Covid-19.

Sejumlah wastafel yang tidak bisa digunakan dengan maksimal antara lain berada di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Bireun. Proyek tersebut bersumber dari dana otonomi khusus (otsus) Aceh tahun anggaran 2020 dengan total Rp.44.000.958.000,00. Program wastafel itu terbagi atas 390 paket pengerjaan yang tersebar di berbagai sekolah.

Pengamatan penulis, wastafel di sekolah menegah atas (SMA) 1 dan SMA 3 Banda Aceh, Rabu (14/12/2021), banyak wastafel rusak dan airnya tidak mengalir. Bahkan, ada wastafel yang digunakan sebagai wadah bunga. Pihak sekolah pun belum bisa memanfaatkannya. Sekolah bahkan harus mengeluarkan biaya sendiri untuk membangun tempat cuci tangan.

“Wastafel yang di bangun dinas pendidikan ada di bagian depan dan bagian dalam sekolah, tetapi tidak bisa dipakai lagi. Airnya tidak keluar, banyak wastafel yang rusak. Kran-krannya juga pada rusak. Jadi, anak-anak sekolah memakai wastafel portabel yang dibangun sekolah,” sebut seorang guru di salah satu sekolah di kota Banda Aceh yang tidak mau disebutkan namanya

Kondisi serupa ditemukan di SMA 1 kabupaten Bireun. Wastafel tidak bisa digunakan dan dimanfaatkan dengan baik, “Di sekolah kami wastafelnya dibangun seperti asal-asalan. Tidak semua wastafel bisa dimanfaatkan dengan baik. Hanya beberapa wastafel yang bisa digunakan untuk mencuci tangan” sebut guru SMA tersebut.

Di lokasi lain, SMA 1 kecamatan Peusangan Kabupaten Bireun, wastafel seperti hanya hiasan saja, tidak dipakai untuk mencuci tangan. “Di SMA 1 Peusangan, tahun 2020 dibangun wastafel untuk cuci tangan, tetapi siswa kami tidak menggunakannya karena anak-anak disini tidak paham tentang Covid-19. Mereka acuh. Jadi alat cuci tangan memang tidak terpakai,” ujar guru di SMA 1 Peusangan.

Padahal, wastafel merupakan salah satu sarana mencuci tangan untuk menerapkan protokol kesehatan di tengah pandemi. Dengan begitu, penularan Covid-19 dapat dicegah atau dikurangi.

Dalam pertemuan dengan Dinas pendidikan Aceh, dalam hal ini diwakili oleh bapak T. Fariyal. S.Sos Kepala Unit Pelaksana Teknis Balai Teknologi Komunikasi dan Informasi (UPTD Tekkomdik) Dinas Pendidikan Aceh. pada tanggal 8 Desember 2021, beliau mengatakan bahwa “proyek pembangunan tempat cuci tangan Westafel untuk sekolah-sekolah SMA di kabupaten/kota sudah melalui perencanaan yang baik, tetapi soal proyek yang dibuat asal-asalan dan westafel tidak bisa digunakan dan dimanfaatkan dengan baik itu bukan wewenang saya untuk menjawab karena saya bukan Kuasa Pemegang Anggaran (KPA) di dinas pendidikan”

Gerak Aceh, salah satu organisasi masyarakat sipil yang fokus untuk isu anti korupsi di Aceh, menemukan banyak wastafel sekolah yang dibangun oleh Dinas pendidikan Aceh tidak dapat digunakan karena dibangun tidak sesuai dengan standar. Temuan BPK-RI atas LHP No: 23.A/LHP/XVIII.BAC/05/2021 tertanggal 3 Mei 2021 tentang Laporan hasil pemeriksaan laporan keuangan pemerintah Aceh tahun anggaran 2020, juga patut diperhatikan.

Proyek wastafel oleh Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA) Dinas Pendidikan Aceh tidak terlepas dari perubahan kebijakan pemerintah atas Perpres pengadaan barang dan jasa. Akibatnya, dari audit secara forensik maka ditemukan kerugian keuangan negara sebesar Rp.6.000.000,00 per proyek, kemudian dikalikan dengan 390 paket pekerjaan maka ditemukan sebesar Rp.2.340.000.000,00 uang negara yang harus dikembalikan ke kas negara. Kerugian tersebut berakibat tidak berfungsinya seluruh tempat cuci tangan di sejumlah sekolah di Provinsi Aceh.

 


IMM Aceh Kolaborasi Bersama AWPF dalam Rangka Peringatan 16HAKTP

AWPF.OR.ID | BANDA ACEH – Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Aceh kolaborasi bersama yayasan perempuan Aceh untuk perdamaian atau Women’s for Peace Foundation (AWPF), dalam rangka Peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16HAKTP).

Organisasi masyarakat sipil di Aceh yang memiliki perhatian terhadap hak azasi perempuan dan perdamaian ini melaksanakan kegiatan peringatan 16 hari anti kekerasan terhadap Perempuan-perempuan di Aceh.

Hakiki, selaku ketua umum DPD IMM Aceh mengatakan, bahwa kolaborasi ini merupakan bentuk dukungan kita sebagai satu organisasi wadah mahasiswa, yang turut mendukung dalam kegiatan peringatan 16 hari anti kekerasan terhadap perempuan.

“Kolaborasi ini bentuk dukungan kita bahwa IMM Aceh turut peduli terhadap berbagai isu kekerasan yang terjadi saat ini, serta kita mendorong agar peringatan 16 hari anti kekerasan terhadap perempuan, dapat dimaknai oleh semua kalangan yang ada di Aceh”, ungkap Hakiki kepada Situasi.id Minggu (23/10/2022).

Dengan kolaborasi ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman mengenai kekerasan berbasis jender sebagai isu Hak Asasi Manusia di tingkat lokal, nasional, regional dan internasional. Dan turut serta menggalang gerakan solidaritas terhadap setiap elemen berdasarkan kesadaran bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan pelanggaran HAM, tambahnya.

“Kompleksitas dan tantangan dalam memperjuangkan hak-hak Perempuan di masa transisi pasca bencana Konflik dan Tsunami di Aceh ini harus mendapat dukungan dari semua pihak, terutama kita IMM ikut mendorong AWPF dalam menjamin perlindungan hak Perempuan-perempuan Aceh”, pungkasnya.

Perlu diketahui, AWPF didirikan pada masa transisi pasca konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Republik Indonesia atau pasca penandatanganan MoU Perdamaian Aceh di Helsinki, Swedia. Dan disahkan sebagai satu badan hukum Yayasan melalui keputusan Mentri Hukum dan Hak Azasi Manusia RI No. AHU-02101.50.10.2014 pada tanggal 3 Juni 2014.

sumber : IMM Aceh Kolaborasi Bersama AWPF dalam Rangka Peringatan 16HAKTP


AWPF Bekali Kaum Ibu-Ibu Bener Meriah Berani Tampil Dimuka Umum

 

AWPF Bekali Kaum Ibu-Ibu Bener Meriah Berani Tampil Dimuka Umum.(*)

www.awpf.or.id | Redelong – Sebanyak  20 orang peserta yang berasal dari 2 kelompok perempuan yang berada di Kabupaten Bener Meriah ikuti Training publik speaking untuk kelompok perempuan di Aula Homestay Shindico gampong Balee Atu Kecamatan Bukit Kabupaten Bener Meriah pada tanggal 10 – 11 Oktober 2022.

Tujuan kegiatan ini diutarakan oleh Syafridah selaku Manager Program AWPF di antaranya, Memberikan pengetahuan dan keterampilan bagi kelompok perempuan tentang teknik berbicara di depan umum (Publik Speaking) yang baik. Kedua, Mempengaruhi, menginformasikan, menghibur, memotivasi dan mengubah pendengar untuk memahami apa yang disampaikan oleh pembicara. Ketiga, Membangun rasa percaya diri berbicara di depan umum.

Adapun hasil yang diharapkan dari kegiatan ini, Adanya pengetahuan dan keterampilan kelompok perempuan tentang teknik berbicara di depan umum dengan baik. Kemudian Peserta dapat mempengaruhi, menginformasikan, menghibur, memotivasi dan mengubah pendengar sehingga paham apa yang disampaikan. Dan terakhir, Terbangunnya rasa percaya diri peserta untuk dapat berbicara di depan umum. (**)

 

 

 


AWPF gelar Kegiatan Internalisasi Konsep Rumah Kuat dalam Kelompok Perempuan

 

Aceh Womens for Peace Foundation gelar Kegiatan Internalisasi Konsep Rumah Kuat dalam Kelompok Perempuan.(*)

www.awpf.or.id | Bener Meriah – Aceh Womens for Peace Foundation gelar Kegiatan Internalisasi Konsep Rumah Kuat dalam Kelompok Perempuan di Ruang Meeting Kont Co Coffee Kecamatan Bukit Kabupaten Bener Meriah pada Rabu, 31 Agustus 2022.

Adapun Peserta dalam kegiatan ini berjumlah 20 orang terdiri dari Perwakilan kelompok perempuan dampingan AWPF dan Para pihak pendukung Program AWPF di Kabupaten Bener Meriah.

Irma Sari, SHI dalam Sambutan pembukaan acara menyebutkan, Mekanisme pelaksanaan program ini dilakukan dengan membangun orientasi kerja bersama antara Perempuan Komunitas bersama AWPF dalam bingkai kerja gerakan Rumah Kuat Perempuan, dimana akan ada pembagian peran bagi masing-masing pihak.

“Rumah Kuat adalah sebuah istilah yang kami gunakan bersama untuk mengorientasikan peran dan fungsi kelompok perempuan  gampong. Adapun tujuan dari rumah kuat adalah untuk mendorong lahirnya kesadaran bahwa, pengetahuan dan pengalaman baik yang dimiliki oleh kelompok perempuan gampong, baik dalam proses penyelesaian konflik dan membangun perdamaian merupakan kekuatan atau sumberdaya potensial, yang selanjutnya dapat dikelola dan dikembangkan bersama”, Jelas Irma.

Maka, AWPF dalam konteks ini akan berperan dalam hal membangun orientasi kerja bersama, memfasilitasi kegiatan peningkatan kapasitas dan menjadi penghubung bagi perempuan komunitas kepada pihak eksternal, serta upaya mengelola pengetahuan dan pembelajaran baik perempuan komunitas. Sedangkan bagi perempuan komunitas, akan mengambil peran dalam identifikasi kebutuhan spesifiknya di masing-masing wilayah, memberi dukungan dan perlidungan bagi perempuan korban kekerasan, hingga koordinasi, konsultasi dan konsolidasi, sebagai upaya membangun modalitas sosial, solidaritas dan kemandirian Perempuan di komunitas dan antar perempuan komunitas, Sebutnya lagi.

 

Program ini merupakan basis program dalam setiap rencana strategis AWPF, dimana akan terus kami lakukan dan kembangkan di setiap wilayah kerja AWPF selanjutnya. Tujuannya adalah, untuk mewujudkan kelompok perempuan komunitas yang kuat dan mampu menjaga kehidupan yang nir-kekerasan, sejahtera dan berkeadilan. Dengan demikian, diharapkan Kelompok Perempuan  dapat  memberi manfaat  bagi sesama perempuan di lingkungannya, serta dapat terus berbagi pengalaman baik dan pengetahuan dengan perempuan di komunitas lainnya. (**)

 

 


Sebanyak 20 Orang Perempuan Bener Meriah Ikuti Training HAM

 

Sebanyak 20 Orang Perempuan Bener Meriah Ikuti Training HAM.(*)

www.awpf.or.id | Redelong – Aceh Women’s for Peace Foundation (AWPF) Adakan Training Hak Asasi Perempuan dan Kesetaraan Gender Dengan tema “Meningkatkan Pengetahuan dalam Perlindungan Terhadap Hak Asasi Perempuan”di di Gampong Balee Atu tepatnya di Aula Shindico Kecamatan Bukit Kabupaten Bener Meriah, terhitung mulai tanggal 29 sampai dengan 30 Agustus 2022.

Adapun Peserta Training berjumlah 20 orang terdiri dari Perwakilan kelompok perempuan komunitas dampingan AWPF dan Para pihak pendukung Program AWPF di Kabupaten Bener Meriah.

Adapun tujuan dari Pelatihan Hak Asasi Manusia yang pertama, Pengembangan wawasan dan penyadartahuan Kelompok Perempuan Komunitas tentang Hak Asasi Manusia dan Perlindungan terhadap Hak Asasi Perempuan. Kedua, Mendorong lahirnya instrumen perlindungan perempuan dan hak asasi perempuan di komunitas melalui kebijakan lokal yang diinisiasi bersama aparatur gampong di wilayah dan Ketiga, Meningkatkan kepedulian dan membangun     solidaritas,     kekuatan     dan     jaringan     perempuan     dalam aksi perlindungan terhadap hak hak perempuan.

Irma Sari, SHI Selaku Direktur AWPF mengharapkan pelatihan ini dapat Meningkatnya wawasan dan pengetahuan kelompok perempuan komunitas terkait isu Hak Asasi Manusia dan Perlindungan Terhadap Hak Asasi Perempuan.

Selain itu juga Berupaya mendorong percepatan lahirnya Aturan Perlindungan Terhadap Perempuan di tingkat gampong yang di prakarsai bersama pemerintah gampong dan tokoh masyarakat di masing wilayah gampong, serta Meningkatnya solidaritas dan kepedulian, kekuatan dan jaringan kelompok perempuan    dalam aksi perlindungan terhadap hak-hak perempuan. (**)

 


Momentum Peringatan IWD 2022, AWPF Dorong Perempuan Aceh Setara dan Berkeadilan

awpf.or.id | Aceh Besar – Peringati Hari Perempuan Se Dunia (Internasional Womans Day), Aceh Womans for Peace Foundation (AWPF) gelar diskusi tentang Setara dan berkeadilan bertempat di Gampong Bineh Blang, Kecamatan Ingin Jaya Kabupaten Aceh Besar.

Kegiatan tersebut untuk menyediakan forum berdiskusi dan berdialog secara terbuka antara perempuan dari berbagai lapisan dengan pihak AWPF dan diskusi kelompok lingkar komunitas dampingan.

Direktur AWPF (Irma Sari), saat di jumpai awak media di lokasi diskusi menyampaikan rasa bangga bisa berjumpa kembali dengan seluruh lapisan masyarakat yang selama ini mungkin jarang bertemu karena satu dan lain hal, jelasnya.

Irma juga menjelaskan maksud dan tujuan dari acara diskusi peringatan Internasional Womans Day (IWD) atau hari perempuan sedunia, adalah Memberikan motivasi kepada semua pihak untuk berkontribusi dan menjaga perdamaian yang sedang dibangun, tutur Irma.

Kemudian kita juga mendorong kegiatan bersama untuk menjamin perlindungan serta setara dalam memgakomodir berbagai macam polemik yang terjadi disekitar masyarakat.

“Para perempuan khususnya di Aceh kita yakin kata serta dan berkeadilan sudah sangat melekat, namun perlu ada uapaya-upaya yang selalu menumbuhkembangkan pengetahuan agar semua kita tidak salah memaknai, jelas Direktur AWPF ini yang kerap disapa bunda Irma.

Hadir dalam acara tersebut Seluruh lapisan masyarakat perempuan dan puluhan perempuan sampingan kelompok Aceh Besar.

Selain acara diskusi, AWPF juga akan membagikan alat kampanye di tanggal 08 maret 2022 kepada semua peserta diskusi.

Untuk diketahui, International Women’s Day (IWD) jatuh pada 8 Maret 2022.

Hari Perempuan Internasional diperingati secara global untuk merayakan berbagai prestasi perempuan di bidang sosial, ekonomi, budaya, serta politik.

Selain itu, terdapat juga tindakan untuk meningkatkan tentang kesetaraan gender. (*)


Kekerasan Seksual Pada Anak, Salah Siapa?

Oleh Haiyun Nisa, S. Psi, M.Psi, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Psikologi Universitas Gadjah Mada dan Staf Pengajar Prodi Psikologi Universitas Syiah Kuala

Awpf.or.id | Publik Aceh bahkan nasional dikejutkan dengan banyaknya berita tentang kekerasan seksual pada anak, bahkan muncul gerakan dari masyarakat agar pemerintah memperhatikan secara serius kondisi Aceh yang masuk pada fase darurat kekerasan seksual.

Data yang disampaikan oleh Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak ( UPTD PPA) Aceh mencatat kasus kekerasan seksual terhadap perempuan yang dilaporkan hingga September 2021 adalah 697 kasus (https://www.liputan6.com/regional/read/4734733/697-perempuan-di-aceh-alami-kekerasan-seksual-ppa-sebut-banyak-yang-ditutupi), sementara YLBHI-LBH Banda Aceh menyampaikan bahwa sepanjang Januari-September 2021, terjadi 355 kasus kekerasan seksual terhadap anak di Aceh (https://www.liputan6.com/regional/read/4708302/setiap-18-jam-45-menit-satu-anak-di-aceh-jadi-korban-kekerasan-seksual).

Data yang disebutkan menunjukkan bahwa permasalahan kekerasan seksual pada anak tentunya memerlukan perhatian yang serius.

Sayangnya, kita baru berkoar-koar pada saat munculnya laporan kasus dan setelah itu redup kembali. Kekerasan seksual pada anak teridentifikasi terjadi di semua tingkat masyarakat di seluruh dunia terutama di negara berkembang, artinya kekerasan seksual tidak mengenal kasta, ras, status sosial ekonomi, jenis kelamin dan lainnya.
Penulis pernah menangani pelaku kekerasan seksual yang berusia anak remaja yang melakukan kekerasan pada anak dengan jenis kelamin yang sama, karena menurut mereka definisi kekerasan seksual adalah yang terjadi pada orang dengan jenis kelamin berbeda.

Hal ini menunjukkan bahwa remaja tidak paham dengan kekerasan seksual, bahkan mereka menganggap bahwa itu hanyalah candaan.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Veenema, dkk (2015) menujukkan bahwa terdapat empat fokus tentang kekerasan seksual pada anak yaitu sulitnya melakukan asesmen yang akurat, adanya hambatan dalam pelaporan, adanya hambatan untuk mencapai keadilan, dan munculnya persepsi yang keliru tentang kekerasan seksual sebagai fenomena baru.

Empat tema ini hendaknya menjadi perhatian bahwa ada banyak PR yang harus dilakukan. Asesmen yang akurat tentunya ditentukan oleh para professional, meliputi pendamping, aparat penegak hukum dan lainnya. Hal ini menjadi tugas penting untuk meningkatkan kapasitas para professional agar mampu melakukan tugasnya dengan benar.

Permasalahan kekerasan seksual bukanlah masalah individu, namun menjadi masalah sosial yang bersifat sistemik.
Artinya, upaya penanganan permasalahan kekerasan seksual tidak hanya berfokus pada korban/penyintas, namun ada banyak faktor yang perlu diperhatikan, karena sifatnya sangat komprehensif.

Kekerasan seksual yang terjadi pada anak berpengaruh pada seluruh aspek kehidupan individu, baik fisik, psikologis, dan sosial.

Selain itu kekerasan seksual yang terjadi pada anak juga berdampak pada lingkungan keluarga dan sosial. Kekerasan seksual pada anak tentunya begitu menarik perhatian. Banyak dari kita yang memberikan komentar-komentar dan rekomendasi yang harus dilakukan oleh para pihak, tak lupa pula ada yang menyalahkan hal-hal tersebut sebagai penyebab terjadi kekerasan seksual, misalnya handphone, internet dan sebagainya.

Upaya hanya mencari kesalahan tentunya tidak akan memberikan kontribusi apapun, sehingga kita lupa hal-hal apa yang bisa dilakukan sebagai bentuk intervensi permasalahan kekerasan seksual pada anak?

Berbagai upaya pastinya telah dilakukan oleh para pihak, seperti memberikan pendampingan, penguatan kepada penyintas dan keluarganya, memberikan edukasi, hingga berupaya untuk menentukan hukuman apa yang tepat bagi pelaku sehingga dapat memiminalisir dampak panjang kekerasan seksual yang terjadi pada anak.

Namun, dalam tulisan ini, penulis berupaya untuk memberikan informasi hal-hal yang dapat dilakukan terkait kekerasan seksual pada anak yang dapat dilakukan jangka pendek dan jangka panjang.

Solusi yang ditawarkan tentunya akan sangat tergantung pada kondisi anak, namun kita dapat berupaya untuk mengurangi berbagai dampak negatif penyintas kekerasan agar dapat berkembang dengan baik. Upaya jangka pendek Seluruh komponen masyarakat bertanggung jawab terhadap permasalahan kekerasan seksual yang terjadi pada anak penyintas maupun anak pelaku.

Lalu bagaimana upaya yang bisa dilakukan baik sebagai upaya kuratif maupun preventif?

1. Bagi korban/penyintas:
Berikan ruang bagi penyintas untuk memahami apa yang dialami; berikan kesempatan untuk bercerita; hindarkan menjadikan penyintas sebagai objek publikasi media; hindarkan mengajukan pertanyaan secara berulang terhadap peristiwa yang terjadi.

Jika kita ingin berempati terhadap penyintas, kita juga dapat memberikan dukungan kepada keluarga agar mampu juga mendukung anak melewati peristiwa negatif tersebut. Berbagai kondisi yang membuat anak tidak nyaman juga dapat memengaruhi keterangan anak dalam proses hukum karena secara psikologis, aspek kognitif/kemampuan berpikir anak belum mampu untuk melakukan analisa denganbaik.

2. Bagi orang tua penyintas:
Orang tua hendaknya tidak menyalahkan anak , namun berikan dukungan kepada anak penyintas untuk berani menyampaikan cerita sebenarnya, namun tidak mendesak anak. Hal ini menjadi penting, karena pada umumnya pelaku kekerasan adalah orang terdekat yang menyebabkan penyintas merasa ketakutan untuk bercerita. Orang tua perlu bersikap tenang dalam menghadapi permasalahan tersebut, jika orang tua membutuhkan bantuan psikologis, maka dapat mencari bantuan dari lembaga layanan.

3. Bagi Orang Tua dan Masyarakat
Lingkungan sosial yang mengetahui terjadinya kekerasan seksual perlu bersikap bijak, tidak mengucilkan penyintas dan keluargnya, namun perlu memberikan dukungan positif. Bentuk dukungan positif yang diberikan adalah dengan tidak menjadikan kasus penyintas sebagai objek pembicaraan dan diskusi.Lalu bagaimana sebenarnya peran masyarakat untuk dapat mencegah terjadinya kekerasan seksual pada anak ?

Masyarakat perlu peka dengan kondisi sekitar, umumnya kita tidak berani menegur jika kita melihat sepasang remaja duduk berdua di atas kendaraan bermotor, atau duduk di tempat sepi, padahal kita dapat mencegah agar tidak terjadi perilaku yang menyimpang. Bagi orang tua juga memiliki tugas untuk senantiasa memantau aktivitas anak, Upaya jangka panjang

1. Bagi orang tua
Penting sekali bagi orang tua untuk memberikan edukasi yang tepat bagi anak sebagai bentuk perlindungan dari kekerasan seksual. Edukasi ini menjadi penting karena kehidupan saat ini diwarnai dengan teknologi dalam genggaman yang memberikan informasi apapun dalam waktu singkat tanpa diketahui informasi tersebut benar atau tidak. Orang tua merupakan edukator paling tepat, tentunya dengan perilaku orang tua yang tepat juga karena orang tua merupakan model bagi anak.

2. Bagi masyarakat
Masyarakat dan lingkungan sosial berkontribusi untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual, yaitu dengan secara bersama-sama melibatkan anak khususnya remaja dalam berbagai aktivitas sosial keagamaan. Menghidupkan kembali masjid yang ramah anak tentunya memberikan dampak yang signifikan. Saling peduli dengan lingkungan sekitar akan membentuk masyarakat menjadi pihak yang juga bertanggung jawab terhadap kekerasan seksual yang terjadi pada anak. (*)

Artiel ini Telah Tayang di Serambinews.com dengan Judul : Kekerasan Seksual Pada Anak, Salah Siapa?


AWPF kembali Suarakan Hentikan Kekerasan Seksual Bersama Kaum Milenial

AWPF.or.id | Banda Aceh – Aceh womens for Peace Foundation kembali menggelar kegiatan di momentum peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16HAKTP).

Untuk informasi, pada tanggal 26 November tim AWPF turun menyapa warga binaan yang terletak di Gampong Bineh Blang dan Pantee, Pagar Air, Aceh Besar. Tepatnya hari ini AWPF kembali ke tengah-tengah masyarakat di gampong Ateuk Pahlawan, Banda Aceh. Menariknya, acara diskusi hari ini didominasi kaum muda-mudi yang tinggal di ateuk pahlawan dan sekitarnya.

Direktur Aceh womens for Peace Foundation, Irma Sari SHI dihadapan kaum milenial menyebutkan ada banyak kasus kekerasan sudah terjadi disekitar kita hari ini, kita berkaca kasus kekerasan dan pelecehan seksual beberapa bulan ke belakang kian meningkat dan belum ada tanda penghentiannya sampai hari ini, Ujarnya pada hari senin, (29/11).

“Kaum milenial terus dinodai dengan hal yang tidak wajar. Ini sangatlah berbahaya dan mengancam generasi yang akan datang. Patutnya kita sudah memasuki fasee damai yang sebagaimana cita cita damai yang diimpikan dan digaungkan dalam bingkai MoU Helsingki.”

Irma juga menyebutkan, Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) pada 30 November 2020, tercatat bahwa di sepanjang tahun 2020 ditemukan 162 kasus kekerasan seksual di Provinsi Aceh.

Kita ketahui bersama, Pelecehan seksual merupakan kejahatan terhadap kesusilaan sebagaimana diatur dalam Pasal 294 ayat (2) KUHP Indonesia. Selain itu, Pasal 86 ayat (1) UU Ketenagakerjaan (UU No.13 Tahun 2003) mengatur bahwa pekerja berhak atas perlindungan moral dan moral.

Aturan lain, Khususnya di Provinsi Aceh juga diatur dalam qanun. “Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan Jarimah Pelecehan Seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 terhadap anak, diancam dengan ‘Uqubat Ta’zir cambuk paling banyak 90 (sembilan puluh) kali atau denda paling banyak 900 (sembilan ratus) gram emas murni atau penjara paling lama 90 (sembilan puluh) bulan.”

Masih Irma, dirinya mengajak kaum muda agar membuka pikiran, menaruh harapan, belajar ilmu pengetahun tentang bahayanya kekererasan terhadap perempuan serta kita pastikan bersama hal kekejaman itu tidak terulang. “hentikan kekerasan seksual di provinsi Aceh, hukum pelaku seberat-beratnya” harus kita suarakan demi tercapainya nilai dan tatanan damai tercapai, Demikian Irma. (*)