Aceh Women’s for Peace Foundation (AWPF) or Yayasan Perempuan Aceh untuk Perdamaian, is a Civil Society Organization in Aceh that has a concern issue in encouraging the Enforcement of Women’s Rights and Building Peace.

Executive Director
Bener Meriah – Puluhan Pemuda mengikuti acara pelatihan hak reproduksi remaja di Mah Perilungi Homestay. Kecamatan Bukit Kabupaten Bener Meriah Pada Tanggal 29 Desember 2024 Kegiatan pelatihan kesehatan reproduksi remaja bertujuan untuk mendapatkan informasi yang tepat tentang kesehatan reproduksi dan berbagai faktor yang berpengaruh terhadap kesehatan reproduksi.
Kegiatan dilaksanakan di QSNCC Bangkok. Kegiatan ini bertujuan membawa isu dan suara perempuan dan kelompok rentan lainnya ke ruang advokasi, membangun atau memperkuat keterampilan, pemahaman dan analisis agar lebih mampu berkontribusi pada perubahan feminis dan sosial,serta terhubung dengan jaringan yang berkontribusi pada Hak Asasi Manusia.
Pertemuan berlangsung pada bulan februari 2020 di Jakarta. Kegiatan bertujuan untuk bersilaturrahmi dan membangun jaringan dengan kedutaan besar.
Gerakan perempuan Aceh mengelar kegiatan sepeda santai dalam rangka peringatan hari perempuan internasional di Blang Padang Banda Aceh.
Bener Meriah, 27 Oktober 2025 – Kelompok Perempuan Dedingin Celala yang berada di salah satu kampung di wilayah Gayo, yaitu kampung kute tanyung Kabupaten Bener Meriah, kembali meraih keberhasilan dengan melaksanakan panen jagung ketiga pada Senin (27/10/2025). Program pertanian jagung ini didukung sepenuhnya oleh Aceh Women’s for Peace Foundation (AWPF) sebagai upaya memperkuat kemandirian ekonomi perempuan di daerah pedesaan.
Panen yang berlangsung di lahan pertanian milik kelompok ini menunjukkan hasil yang memuaskan. Jagung yang dipanen tampak berkualitas baik dan mengalami peningkatan produksi dibanding panen sebelumnya. Hal ini menjadi bukti keberhasilan pendampingan yang dilakukan AWPF melalui program pemberdayaan perempuan petani.
Ketua Kelompok Perempuan Dedingin Celala ibu Syamsuriah, dalam sambutannya menyampaikan rasa syukur dan bangga atas keberhasilan panen kali ini.
“Kami sangat senang dan bersyukur bisa kembali panen. Ini sudah panen yang ketiga, dan hasilnya sangat memuaskan. Berkat kerja sama dan semangat ibu-ibu di kelompok kami, kami bisa membuktikan bahwa perempuan juga mampu mengelola pertanian dengan baik,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Aceh Women’s for Peace Foundation (AWPF) menyampaikan apresiasi atas komitmen kelompok perempuan yang terus aktif mengembangkan kapasitas mereka di sektor pertanian.
“Kami sangat bangga dapat mendampingi perempuan-perempuan hebat yang bekerja sebagai petani ini. Program ini bukan hanya soal hasil panen, tetapi tentang membangun kemandirian ekonomi dan meningkatkan kepercayaan diri perempuan agar lebih aktif berperan dalam pembangunan desa,” katanya. Program pertanian yang dijalankan oleh AWPF ini tidak hanya fokus pada pembiayaan, tetapi juga memberikan pelatihan teknis pertanian, pengelolaan kelompok, serta penguatan kapasitas perempuan dalam usaha ekonomi produktif.
Keberhasilan ini diharapkan menjadi inspirasi bagi kelompok perempuan lainnya di Aceh untuk terus aktif meningkatkan kesejahteraan keluarga melalui usaha bersama dan kerja kolektif berbasis komunitas. Kelompok Dedingin Celala juga berencana memperluas lahan garapan serta mengembangkan produk turunan jagung agar memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi.
Panen jagung ketiga ini menjadi momentum penting bahwa perempuan pedesaan mampu bangkit dan berdaya ketika diberi ruang, kesempatan, dan dukungan.
Kuala Lumpur, 15 Oktober 2025 – Direktur Aceh Women Peace Foundation (AWPF), Irma Sari, menjadi salah satu peserta dalam ASEAN Civil Society Conference (ACSC) yang berlangsung pada 14–15 Oktober 2025 di Kuala Lumpur, Malaysia. Kegiatan ini diikuti oleh ratusan perwakilan organisasi masyarakat sipil dari seluruh negara anggota ASEAN yang fokus pada isu perdamaian, hak asasi manusia, dan keadilan sosial di kawasan Asia Tenggara.
Dengan mengusung tema “ASEAN Hidden”, konferensi ini menyoroti beragam persoalan kemanusiaan yang kerap tersembunyi di balik narasi stabilitas kawasan. Dalam sesi utama, HE. Edmund Bon Tai Sin, Ketua ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR), menyampaikan pandangan kritis terhadap kondisi hak asasi manusia di beberapa negara ASEAN, termasuk krisis kemanusiaan yang terus berlangsung terhadap etnis Rohingya di Myanmar serta berbagai pelanggaran HAM di negara lain di kawasan ini.
Dalam forum tersebut, Irma Sari menyampaikan pentingnya peran masyarakat sipil, khususnya kepemimpinan perempuan, dalam memperjuangkan nilai kemanusiaan lintas batas negara. “Kita perlu memperkuat solidaritas masyarakat sipil ASEAN agar suara kelompok rentan — perempuan, anak, dan pengungsi — tidak tenggelam dalam kebijakan politik regional,” ujarnya.
Selain menjadi ajang berbagi pengalaman dan strategi advokasi, konferensi ini juga membuka ruang dialog antara organisasi masyarakat sipil dengan perwakilan lembaga resmi ASEAN. Beberapa isu utama yang dibahas meliputi pengungsi lintas negara, krisis iklim, kebebasan berekspresi, serta keadilan sosial dan gender.
Partisipasi AWPF dalam konferensi ini menjadi bagian dari komitmen lembaga untuk terus memperjuangkan perdamaian, kesetaraan gender, dan pemenuhan hak asasi manusia, baik di Aceh, Indonesia, maupun di kawasan Asia Tenggara secara lebih luas.
Banda Aceh, Oktober 2025 — Aceh Women Peace Foundation (AWPF) bersama mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Syiah Kuala (USK) menyelenggarakan Pelatihan Pengembangan Sumber Daya Lembaga dengan fokus pada pendampingan komunitas dan pemahaman psikososial.
Kegiatan ini menghadirkan Dr. Haiyun Nisa, Psikolog, dosen Fakultas Psikologi USK, sebagai fasilitator utama. Pelatihan berlangsung dalam suasana interaktif dan partisipatif, di mana peserta yang merupakan staf AWPF serta mahasiswa mendapatkan berbagai materi tentang pendekatan psikologis dalam kerja-kerja komunitas. Dalam paparannya, Dr. Haiyun Nisa menekankan pentingnya kemampuan pendamping dalam memahami aspek psikososial masyarakat dampingan, terutama dalam konteks pascakonflik dan kemanusiaan. Menurutnya, pendamping komunitas perlu memiliki kepekaan terhadap kondisi emosi, trauma, serta dinamika sosial yang dialami kelompok dampingan agar proses pemberdayaan berjalan lebih efektif dan berkelanjutan.
“Pendamping komunitas bukan hanya memberi bantuan teknis, tapi juga menjadi pendengar yang empatik dan mampu memahami beban psikologis masyarakat. Di situlah letak pentingnya pendekatan psikososial,” ujar Dr. Haiyun. Melalui kegiatan ini, staf AWPF mendapatkan pengetahuan baru tentang strategi pendampingan berbasis psikososial, termasuk teknik komunikasi efektif, penanganan stres di lapangan, dan penguatan rasa percaya diri komunitas dampingan.
Direktur AWPF, Irma Sari, menyampaikan apresiasinya atas kolaborasi dengan Fakultas Psikologi USK
“Pelatihan ini sangat bermanfaat bagi tim kami dalam meningkatkan kapasitas pendamping lapangan. Kami berharap kerja sama seperti ini dapat terus berlanjut untuk memperkuat peran AWPF dalam mendampingi perempuan dan komunitas akar rumput di Aceh,” ujarnya.
Pelatihan ini menjadi bagian dari upaya AWPF untuk memperkuat sumber daya internal lembaga agar lebih responsif terhadap kebutuhan psikologis dan sosial masyarakat yang mereka dampingi di berbagai wilayah Aceh.
Banda Aceh, 23 September 2025. Aceh Women’s for Peace Foundation (AWPF) memenuhi undangan makan malam dan diskusi bersama perwakilan Kedutaan Besar Selandia Baru di Banda Aceh pada Selasa, 23 September 2025. Pertemuan ini menjadi ruang dialog strategis untuk memperkuat kerja sama dalam isu pemenuhan hak asasi perempuan, pemberdayaan perempuan, serta penguatan perlindungan terhadap penyintas kekerasan di Aceh dan Indonesia secara luas.
Silaturahmi tersebut merupakan rangkaian komunikasi dan kolaborasi yang telah terjalin sejak tahun 2020 antara AWPF dan Kedutaan Besar Selandia Baru. Selama lima tahun kemitraan, kedua pihak telah menunjukkan komitmen berkelanjutan dalam mendukung inisiatif keadilan gender, penguatan kapasitas perempuan akar rumput, serta advokasi kebijakan yang berpihak pada perempuan dan kelompok rentan.
Delegasi Kedutaan Besar Selandia Baru yang hadir dalam pertemuan ini terdiri dari: Ibu Giselle – Deputy Head of Mission, Ibu Ema – First Secretary Political, Bapak Tim – Counselling Migration Officer dan Bapak Awan – Perwakilan tim diplomatik
Dalam sambutannya, Ibu Giselle menyampaikan bahwa Selandia Baru berkomitmen untuk terus bekerja bersama organisasi masyarakat sipil dalam memperjuangkan hak asasi manusia dan kesetaraan gender. “Kami percaya kerja-kerja perubahan sosial harus dilakukan bersama komunitas lokal. Kami melihat AWPF sebagai mitra yang memiliki visi kuat untuk membangun keadilan dan kesetaraan bagi perempuan di Aceh,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur AWPF, Ibu Irma Sari, menekankan pentingnya kemitraan internasional yang berlandaskan solidaritas dan keberpihakan pada nilai kemanusiaan. “Kolaborasi dengan Kedutaan Besar Selandia Baru sejak tahun 2020 adalah bentuk kepercayaan yang sangat kami hargai. Dukungan ini memperkuat kerja-kerja kami dalam membantu perempuan di wilayah pascakonflik, penyintas kekerasan, perempuan muda, dan kelompok rentan lainnya. Kami ingin memastikan bahwa tidak ada perempuan yang tertinggal dalam proses pembangunan dan perdamaian,” tegasnya.
Ia juga menambahkan bahwa AWPF akan terus memperluas ruang advokasi, pendidikan masyarakat, dan pendampingan hukum bagi perempuan yang menghadapi diskriminasi dan kekerasan. “Kerja kami bukan hanya soal program, tapi soal memastikan keadilan dan perlindungan menjadi hak setiap perempuan. Itu adalah komitmen kami,” ujar Irma Sari.
Pertemuan ditutup dengan makan malam bersama dalam suasana hangat dan penuh kekeluargaan. Kedua pihak sepakat untuk melanjutkan kerja sama pada tahun 2025–2026 melalui inisiatif bersama yang berfokus pada pemulihan penyintas, pemberdayaan perempuan di tingkat komunitas, serta mendorong kebijakan yang berperspektif gender melalui pendekatan multipihak.
Pidie, 15 September 2025 — Mahasiswa jurusan Sosiologi Universitas Syiah Kuala (USK) bersama tim Aceh Women Peace Foundation (AWPF) melakukan kunjungan kemanusiaan ke dua lokasi camp pengungsi Rohingya di Kabupaten Pidie, yaitu Camp Kule dan Camp Minaraya. Kunjungan ini bertujuan untuk melihat langsung kondisi para pengungsi yang telah berbulan-bulan tinggal di lokasi tersebut. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, para pengungsi yang terdiri dari laki-laki, perempuan, dan anak-anak masih hidup dalam kondisi yang sangat tidak layak untuk manusia. Ruang tempat tinggal mereka sempit, tidak memiliki ventilasi memadai, serta kekurangan sarana kebersihan dan air bersih.
Dalam kesempatan tersebut, mahasiswa Sosiologi USK menyalurkan bantuan logistik berupa kebutuhan pokok kepada para pengungsi. Bantuan tersebut diharapkan dapat sedikit meringankan beban hidup mereka sambil menunggu penanganan lebih lanjut dari pihak terkait.
Selain meninjau lokasi, tim AWPF dan mahasiswa juga melakukan diskusi bersama perwakilan Yayasan Kemanusiaan Madani Indonesia (YKMI) dan UNHCR untuk membahas berbagai isu yang berkaitan dengan hak-hak pengungsi Rohingya di wilayah Pidie. Diskusi tersebut menyoroti pentingnya perlindungan hak dasar, termasuk hak atas tempat tinggal yang layak, pendidikan bagi anak-anak, serta layanan kesehatan dan keamanan.
Direktur AWPF, Irma Sari, menyampaikan bahwa kunjungan ini merupakan bagian dari upaya lembaga dan mahasiswa untuk memahami situasi kemanusiaan secara langsung serta memperkuat empati sosial di kalangan generasi muda.
“Kami ingin agar mahasiswa tidak hanya belajar teori, tapi juga melihat realitas kemanusiaan di lapangan. Kondisi pengungsi Rohingya ini harus menjadi perhatian bersama,” ujar Irma.
Kegiatan ini diharapkan dapat menjadi langkah awal untuk memperkuat kolaborasi antara lembaga pendidikan, organisasi masyarakat sipil, dan lembaga kemanusiaan internasional dalam memperjuangkan hak-hak pengungsi dan memperbaiki kondisi hidup mereka di Aceh.
Bener Meriah, 11 Agustus 2025 – Aceh Women’s for Peace Foundation (AWPF) melanjutkan rangkaian audiensi dengan melakukan pertemuan bersama Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Bener Meriah, Senin (11/8/2025) siang. Pertemuan ini menjadi upaya membangun kerja sama strategis dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Bener Meriah. Dalam audiensi tersebut, AWPF memaparkan kondisi kasus kekerasan yang masih marak terjadi serta tantangan yang dihadapi para korban dalam mendapatkan keadilan. AWPF juga menekankan pentingnya sinergi antara lembaga pendamping dan aparat penegak hukum agar proses hukum lebih ramah terhadap korban.
“Kami berharap Unit PPA dapat memberikan ruang yang lebih besar bagi keterlibatan pendamping perempuan dalam setiap tahapan pendampingan kasus. Dengan begitu, suara korban bisa lebih terwakili,” ungkap Ibu Irma Sari Direktur AWPF. Kepala Unit PPA Polres Bener Meriah Hardian Ariyuriska menyambut baik gagasan tersebut dan menilai penting adanya kerja sama dengan masyarakat sipil, khususnya AWPF, dalam menangani kasus kekerasan. Diskusi juga menyinggung peluang kolaborasi di masa depan, termasuk peningkatan kapasitas bersama dan penguatan mekanisme koordinasi antar lembaga.
Dengan adanya audiensi ini, AWPF berharap dapat mendorong lahirnya pengakuan formal terhadap pendamping korban dalam proses hukum, sekaligus memperkuat pemahaman aparat penegak hukum tentang pentingnya perspektif korban dalam penanganan kasus. Audiensi yang dihadiri tim AWPF, para dampingannya, serta jajaran Unit PPA Polres Bener Meriah ini diharapkan menjadi titik awal penguatan kerja sama lintas sektor demi perlindungan yang lebih baik bagi perempuan dan anak korban kekerasan di Kabupaten Bener Meriah.
Bener Meriah, 11 Agustus 2025 – Aceh Women’s for Peace Foundation (AWPF) melakukan audiensi ke Mahkamah Syar’iyah Simpang Tiga Redelong, KabupatenBener Meriah, Senin (11/8/2025). Kegiatan ini bertujuan mendorong sinergi antara lembaga peradilan dan masyarakat sipil dalam memberikan perlindungan hokum terhadap perempuan dan anak korban kekerasan. Dalam audiensi tersebut, AWPF menyampaikan pentingnya pengakuan terhadap peran pendamping korban dalam proses hukum. Selain itu, AWPF juga menekankan perlunya keterlibatan perempuan dalam pendampingan kasus, agar perspektif korban lebih diperhatikan dalam setiap tahapan persidangan. “Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Bener Meriah masih cukup tinggi. Kami berharap Mahkamah Syar’iyah dapat memberikan ruang dan pengakuan formal bagi pendamping korban, sehingga proses hokum berjalan lebih berpihak pada korban,” ujar Ibu Irma Sari dari AWPF saat menyampaikan pandangan. Pihak Mahkamah Syar’iyah yang langsung dihadiri oleh Bapak Ketua Mahkamah Syariyah Bapak Ahmad Nazif Husainy, S.H menyambut baik usulan yang disampaikan, dan menyatakan akan siap mendukung peran perempuan pendamping korban melalui penyusunan Draft Dukungan Perempuan Pendamping Korban dalam Proses Beracara di Pengadilan. Melalui diskusi yang berlangsung hangat, kedua pihak bersepakat untuk terus memperkuat komunikasi dan membangun kerjasama, khususnya dalam menghadirkan proses hukum yang lebih adil dan ramah korban. Audiensi ini juga menjadi momentum untuk memperkenalkan AWPF sebagai lembaga yang fokus pada isu perempuan dan anak di Bener Meriah. Dengan adanya pertemuan ini, diharapkan terbangun komitmen bersama untuk meningkatkan perlindungan terhadap korban kekerasan serta memperkuat sinergi antara lembaga peradilan dan masyarakat sipil.
Kegiatan diikuti oleh tim AWPF, Kelompok Dedingin Celala dan kelompok Peteripitu yang merupakan kelompok dampingan AWPF di Bener Meriah.
Bener Meriah, 2 Agustus 2025 – Berbagai pemangku kepentingan berkumpul dalam sebuah ruang dialog di Aula Mah Perilungi, Kabupaten Bener Meriah, Sabtu (2/8). Pertemuan ini menjadi momentum penting untuk menggali perspektif lintas sektor sekaligus merumuskan strategi kolaboratif dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan. Dialog yang digagas oleh Aceh Women’s for Peace Foundation (AWPF) ini menghadirkan Direktur AWPF, Irma Sari, Ketua Majelis Adat Gayo, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan KB, Kasat Reskrim Polres Bener Meriah, serta aparatur gampong dari delapan desa. Hadir pula tokoh perempuan, ibu-ibu komunitas dampingan AWPF, serta sejumlah aktivis dan masyarakat sipil. Dalam sambutannya, Irma Sari menekankan pentingnya sinergi antar lembaga negara, adat, penegak hukum, dan masyarakat sipil. “Kekerasan terhadap perempuan bukan hanya isu domestik, tetapi persoalan sosial yang memerlukan perhatian bersama. Kolaborasi ini diharapkan melahirkan langkah nyata yang lebih efektif,” ujarnya. Sementara itu, Ketua Majelis Adat Gayo menegaskan peran penting nilai-nilai adat dalam menciptakan lingkungan yang aman bagi perempuan. Aparatur desa juga menyampaikan pengalaman langsung terkait tantangan di lapangan, mulai dari kurangnya pelaporan kasus hingga minimnya pemahaman masyarakat mengenai mekanisme perlindungan perempuan. Kasat Reskrim Polres Bener Meriah menambahkan bahwa pihak kepolisian siap memperkuat mekanisme penanganan kasus dan mendorong keberanian masyarakat untuk melapor. “Kami ingin memastikan setiap laporan ditangani secara cepat, transparan, dan adil,” tegasnya. Dari forum ini, para peserta menyepakati sejumlah rekomendasi, antara lain: memperkuat edukasi masyarakat, membangun sistem pelaporan berbasis gampong, serta mempererat koordinasi antara pemerintah daerah, aparat hukum, tokoh adat, dan komunitas perempuan. Dialog multipihak ini diharapkan menjadi titik awal lahirnya strategi bersama yang berkelanjutan dalam menciptakan ruang hidup yang lebih aman, adil, dan bebas dari kekerasan bagi perempuan di Bener Meriah.
Bener Meriah, 13 Juni 2025 – Puluhan perempuan dari berbagai komunitas di Kabupaten Bener Meriah mengikuti Pertemuan Antar Kelompok Perempuan Komunitas yang diselenggarakan oleh Aceh Women’s for Peace Foundation (AWPF), Jumat (13/6). Kegiatan ini menjadi ruang penting bagi para perempuan untuk saling belajar, memperkuat solidaritas, serta merumuskan solusi kolektif atas tantangan yang mereka hadapi dalam kehidupan komunitas dan pembangunan lokal. Acara berlangsung dari pukul 09.00 hingga 16.30 WIB dan dikemas dalam bentuk diskusi terarah atau Focus Group Discussion (FGD). Moderator kegiatan ini adalah Ibu Irma Sari, S.H.I, yang juga merupakan Direktur Aceh Women’s for Peace Foundation (AWPF). Dalam forum ini, seluruh peserta didorong untuk menjadi narasumber aktif, berbagi pengetahuan, pengalaman, dan inspirasi dari komunitas masing-masing. Kolaborasi dan Pembelajaran Kolektif
Kegiatan ini memiliki tiga tujuan utama: Menggali informasi mengenai perkembangan peran perempuan dalam pendampingan, partisipasi mereka dalam pemerintahan gampong, serta pengelolaan usaha kelompok. Mendorong kerja sama antaranggota kelompok dalam mencari solusi terhadap berbagai persoalan yang dihadapi. Membangun ruang pembelajaran dan pertukaran pengetahuan berdasarkan pengalaman nyata perempuan di komunitas. Menurut Irma Sari, pertemuan ini bukan hanya menjadi sarana evaluasi dan berbagi cerita, tetapi juga wadah membangun jaringan kekuatan perempuan dari akar rumput. “Kami percaya, perempuan memiliki kekuatan luar biasa dalam menciptakan perubahan di komunitasnya. Pertemuan ini menjadi langkah penting untuk saling mendukung dan tumbuh bersama,” ungkap Irma Sari. Membangun Gerakan Perempuan Komunitas yang Berdaya
Diskusi berjalan dinamis dengan berbagai topik yang dibahas, mulai dari hambatan dalam pengembangan usaha kelompok, tantangan partisipasi dalam musyawarah gampong, hingga pentingnya penguatan kapasitas manajerial dan kepemimpinan perempuan di tingkat lokal.
Bener Meriah, 15 Juni 2025 – Dalam upaya memperkuat semangat kewirausahaan perempuan di tingkat komunitas, Aceh Women’s for Peace Foundation (AWPF) menyelenggarakan sebuah diskusi partisipatif pada Minggu, 15 Juni 2025, bertempat di Kabupaten Bener Meriah. Kegiatan ini difasilitasi langsung oleh Ibu Irma Sari, Direktur AWPF, yang juga aktif mendorong penguatan kapasitas perempuan akar rumput dalam pengembangan usaha berbasis komunitas. Diskusi ini dirancang untuk: Mengidentifikasi kendala dan hambatan yang dihadapi kelompok usaha perempuan dalam mengembangkan kegiatan usahanya. Menemukan solusi pemecahan masalah secara partisipatif yang dapat diterapkan oleh kelompok. Membangun konsolidasi dan solidaritas antar sesama perempuan dalam memperkuat jejaring dukungan kewirausahaan berbasis komunitas. Ibu Irma Sari dalam sambutannya menyampaikan bahwa kegiatan ini bukan hanya ruang refleksi, tetapi juga ruang konsolidasi antarperempuan untuk bersama-sama menghadapi tantangan ekonomi. “Kita ingin perempuan bukan hanya bertahan dalam situasi sulit, tetapi mampu bertumbuh bersama, saling mendukung, dan membangun jejaring usaha yang saling menguatkan,” ujarnya. Melalui proses diskusi yang terbuka, para peserta diharapkan memperoleh pemahaman bersama mengenai faktor penyebab terhambatnya pengembangan usaha yang mereka kelola. Selain itu, mereka juga menyepakati solusi konkret yang dapat diterapkan dalam aktivitas kelompok, sehingga usaha dapat berjalan kembali secara berkelanjutan. Kegiatan ini juga menumbuhkan semangat solidaritas antar kelompok, mendorong lahirnya inisiatif baru untuk pengembangan usaha yang lebih inklusif, serta melibatkan lebih banyak perempuan dari lingkungan komunitas. Diskusi ini menjadi salah satu bentuk nyata komitmen AWPF dalam mendorong pemberdayaan ekonomi perempuan melalui pendekatan kolektif dan partisipatif, terutama di wilayah-wilayah pascakonflik seperti Bener Meriah.
#PerempuanBerdaya #UsahaKomunitas #SolidaritasPerempuan #BenerMeriah #AWPF
Medan, 15 Mei 2024 – Direktur Asia Women Peace Foundation (AWPF), Irma Sari, turut ambil bagian dalam kegiatan Resilience Dialogues yang membahas isu penyelundupan manusia di kawasan Asia Tenggara. Dialog ini diselenggarakan pada Rabu, 15 Mei 2024, di Hotel Four Points by Sheraton, Medan. Acara ini merupakan inisiatif bersama antara Yayasan Geutanyoe dan Resilience Fund, dan menghadirkan peserta dari berbagai wilayah di Indonesia seperti Aceh, Medan, Nusa Tenggara Timur (NTT), Jakarta, dan Kalimantan. Tidak hanya itu, perwakilan dari Malaysia juga turut hadir dalam forum ini. Resilience Dialogues bertujuan untuk memperkuat pemahaman bersama, membangun jaringan kerja lintas wilayah, serta menggali strategi efektif dalam mencegah dan menangani praktik penyelundupan manusia yang kian kompleks. Dalam kesempatan tersebut, Irma Sari menyampaikan pentingnya pendekatan berbasis komunitas serta perlindungan yang menyeluruh bagi kelompok rentan, terutama perempuan dan anak-anak. “Isu penyelundupan manusia tidak bisa dipisahkan dari persoalan kemiskinan, konflik, dan kurangnya akses terhadap perlindungan hukum. Kolaborasi lintas sektor dan negara menjadi kunci dalam memerangi kejahatan ini,” ujar Irma Sari dalam salah satu sesi diskusi. Kegiatan ini juga menjadi ruang refleksi dan pertukaran pengalaman antarorganisasi masyarakat sipil, akademisi, dan praktisi kemanusiaan yang telah lama bergiat di isu migrasi dan perdagangan manusia. Dialog ini diharapkan menghasilkan rekomendasi kebijakan serta inisiatif lapangan yang berdampak nyata di tingkat akar rumput.
Jakarta, 8 Mei 2025 — Irma Sari, perwakilan dari Aceh Women’s for Peace Foundation (AWPF), turut serta dalam Simposium ASEAN Institute for Peace and Reconciliation (ASEAN IPR) yang membahas peran perempuan dalam proses perdamaian. Acara ini diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 5–8 Mei 2025 dan dihadiri oleh para perempuan pegiat perdamaian dari seluruh negara anggota ASEAN. Simposium yang berlangsung selama empat hari ini menjadi ajang penting bagi pertukaran pengetahuan, pengalaman, dan strategi antarperempuan yang terlibat langsung dalam upaya rekonsiliasi dan pembangunan perdamaian di kawasan Asia Tenggara. Dengan mengusung tema “Empowering Women Peacebuilders for Sustainable Peace in ASEAN”, kegiatan ini menyoroti kontribusi signifikan perempuan dalam mendorong penyelesaian konflik dan memperkuat kohesi sosial. Dalam kesempatan tersebut, Irma Sari berbagi pengalaman tentang peran AWPF dalam mempromosikan perdamaian berbasis komunitas di Aceh pasca-konflik. Ia menekankan pentingnya pelibatan perempuan secara bermakna dalam setiap tahap proses perdamaian, mulai dari pencegahan konflik hingga rekonstruksi sosial. “Keterlibatan perempuan bukan hanya sebagai korban, tetapi sebagai agen perubahan adalah kunci bagi perdamaian yang inklusif dan berkelanjutan,” ujar Irma Sari dalam salah satu sesi diskusi panel. Keikutsertaan Irma Sari sekaligus memperkuat posisi Aceh sebagai salah satu wilayah yang memiliki pengalaman unik dalam membangun perdamaian pascakonflik, serta menjadi wadah bagi pengakuan kontribusi perempuan Aceh di kancah regional. Simposium ini juga menghasilkan sejumlah rekomendasi untuk memperkuat kebijakan dan kerangka kerja ASEAN dalam mendorong peran perempuan dalam perdamaian dan keamanan, yang akan dibawa ke forum-forum kebijakan tingkat tinggi ASEAN.
Jakarta, 6 Mei 2025 – Institute for Peace and Reconciliation (ASEAN-IPR) dengan dukungan Kementerian Luar Negeri Norwegia melalui Norway-ASEAN Regional Integration Programme (NARIP), meluncurkan situs www.womeninpeace.asean-aipr.org. Situs ini sebagai basis data digital yang yang mendokumentasikan kontribusi perempuan penggerak perdamaian di tingkat akar rumput di kawasan ASEAN, sebagai upaya mengakui peran vital mereka dalam mewujudkan perdamaian berkelanjutan di kawasan. Peluncuran ini bertepatan dengan berlangsungnya Regional Symposium and Capacity Building bertajuk “Her Stories, Our Peace: Women’s Journey in ASEAN Peace Processes” yang diselenggarakan pada 5-8 Mei 2025 di Jakarta. Acara tersebut dihadiri lebih dari 30 peserta, termasuk anggota ASEAN Women for Peace Registry (AWPR) dan para aktor penggerak perdamaian dari seluruh kawasan ASEAN. Basis data digital ini merupakan komponen utama dari program “Women in Peace Processes” ASEAN-IPR. Ini bertujuan untuk menyoroti kisah-kisah inspiratif dari para perempuan penggerak perdamaian di akar rumput serta kontribusi mereka dalam memajukan Agenda Perempuan, Perdamaian, dan Keamanan (Women, Peace and Security – WPS). Katalog digital ini mencerminkan beragam dinamika konflik, situasi keamanan, dan prioritas nasional yang ada di kawasan ASEAN. Database ini diharapkan dapat menjadi referensi berharga bagi para pembuat kebijakan, peneliti, dan akademisi yang berkecimpung dalam isu-isu terkait Perempuan, Perdamaian, dan Keamanan. Situs tersebut kini dikelola dan dioperasikan di bawah situs utama ASEAN-IPR, yaitu www.asean-aipr.org.
Jakarta, 8 Mei 2025 – ASEAN Institute for Peace and Reconciliation (ASEAN-IPR) sukses menyelenggarakan Simposium Regional bertema Women in Peace Processes pada tanggal 5–8 Mei 2025 di Jakarta. Kegiatan ini mempertemukan para pakar, praktisi, akademisi, dan perwakilan pemerintah dari negara-negara anggota ASEAN untuk memperkuat peran perempuan dalam proses perdamaian di kawasan.
Simposium ini menjadi wadah dialog dan pertukaran pengetahuan tentang keterlibatan perempuan dalam resolusi konflik, mediasi, dan pembangunan pascakonflik. Berbagai sesi panel dan diskusi interaktif menyoroti tantangan struktural yang dihadapi perempuan, serta strategi konkret untuk meningkatkan partisipasi bermakna mereka dalam agenda perdamaian.
Direktur Eksekutif ASEAN-IPR, dalam sambutannya menyatakan bahwa keterlibatan perempuan bukan hanya penting dari sisi keadilan gender, tetapi juga telah terbukti meningkatkan efektivitas dan keberlanjutan perdamaian.
Acara simposium ini juga menjadi bagian dari komitmen ASEAN untuk mendorong implementasi Agenda Perempuan, Perdamaian, dan Keamanan (Women, Peace, and Security/WPS) di tingkat regional.
Setelah rangkaian simposium, kegiatan dilanjutkan dengan program Capacity Building pada 7- 8 Mei 2025 yang difokuskan pada penguatan kapasitas para peserta, khususnya perempuan pemimpin komunitas dan organisasi masyarakat sipil. Program ini mencakup pelatihan mediasi konflik, negosiasi, dan advokasi kebijakan berbasis gender, yang bertujuan untuk memperkuat keterampilan praktis dalam mendukung perdamaian yang inklusif dan berkelanjutan di negara masing-masing.
Kegiatan ini menandai langkah penting ASEAN dalam memperkuat komitmennya terhadap perdamaian yang adil dan setara gender di kawasan Asia Tenggara.
